Airlangga Hartarto Mundur dari Ketum Golkar: Misteri dan Kontroversi di Balik Pengunduran Diri




Keputusan mendadak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar mengguncang dunia politik Indonesia. Keputusan ini, yang berlangsung pada 10 Agustus 2024, langsung mengundang spekulasi dan kontroversi. Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar? Mengapa Airlangga mengambil langkah drastis ini? Berikut adalah rincian terbaru yang berhasil dihimpun oleh Tempo.

Airlangga Hartarto memutuskan untuk mundur sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Sabtu malam, 10 Agustus 2024. Langkah ini diambil dalam suasana mendesak setelah menerima surat pemanggilan dari Kejaksaan Agung. Dalam wawancara eksklusif dengan Tempo, beberapa pengurus Golkar yang meminta untuk tidak disebutkan namanya mengungkapkan bahwa pengunduran diri Airlangga tidak lepas dari ancaman hukum yang menimpanya.

Sumber internal Partai Golkar menjelaskan bahwa sebelum pengunduran dirinya, Airlangga menerima surat dari Kejaksaan Agung yang memanggilnya untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya untuk periode 2021-2022. Pemeriksaan yang dijadwalkan berlangsung pada Selasa, 13 Agustus 2024, mencatatkan Airlangga sebagai saksi dalam kasus yang melibatkan sejumlah nama besar dalam industri kelapa sawit.

Menurut pengurus Golkar yang enggan disebutkan namanya, Airlangga diancam dengan penggeledahan dan penjemputan paksa jika ia tidak segera mengajukan surat pengunduran diri pada 10 Agustus. "Kejaksaan Agung mengirim surat pada hari Sabtu. Sorenya, (Airlangga) diperintahkan untuk membuat video pengunduran diri. Kalau tidak, rumahnya akan digeledah, dan dia akan langsung dibawa. Jadi, pada Sabtu malam, mau tidak mau, dia harus membuat surat pengunduran diri," jelas pengurus tersebut.

Kontroversi ini berakar dari kasus korupsi minyak goreng yang menghebohkan publik sejak tahun lalu. Pada 15 Juni 2023, Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga perusahaan besar—Wilmar Grup, Permata Hijau Grup, dan Musim Mas Grup—sebagai tersangka dalam kasus korupsi ini. Penetapan ini mengikuti vonis pidana terhadap lima terdakwa yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Dalam laporan utama Majalah Tempo yang berjudul "Tergelincir Minyak Sawit" pada Juli 2023, Airlangga Hartarto terseret dalam kasus ini melalui keterlibatannya dengan Lin Che Wei, anggota tim asistensinya di bidang pangan dan pertanian. Lin Che Wei sering menyebut nama Airlangga dalam penanganan kasus kelangkaan minyak goreng, yang kemudian memicu penyelidikan lebih lanjut terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Airlangga.

Airlangga Hartarto telah diperiksa pada 24 Juli 2023 sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi ekspor CPO. Pemeriksaan berlangsung selama 12 jam di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung, di mana Airlangga menghadapi 46 pertanyaan dari penyidik. Meski jaksa belum menemukan keuntungan finansial langsung dari tindakan Airlangga, kebijakan-kebijakan yang diambilnya diduga menguntungkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, dalam konfirmasinya pada 12 Agustus 2024, menyatakan bahwa belum ada informasi mengenai terbitnya Surat Perintah Penyidikan (sprindik) baru untuk Airlangga. "Kami belum ada info soal itu," ujar Harli. Ia juga membantah adanya motif politik dalam pemanggilan Airlangga, menegaskan bahwa penanganan perkara ini murni merupakan upaya penegakan hukum tanpa intervensi politik.

Kejaksaan Agung sebelumnya mengungkapkan bahwa negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp 6,47 triliun akibat kasus korupsi minyak goreng ini. Dampak signifikan dari kasus ini adalah kemahalan dan kelangkaan minyak goreng, yang memaksa negara menggelontorkan dana sebesar Rp 6,19 triliun dalam bentuk bantuan langsung tunai untuk masyarakat.

Dengan berbagai dinamika ini, pengunduran diri Airlangga Hartarto tidak hanya mengguncang Partai Golkar tetapi juga menambah kompleksitas dalam skandal korupsi yang melibatkan industri kelapa sawit. Publik dan pengamat politik akan terus mengamati perkembangan kasus ini dan dampaknya terhadap lanskap politik Indonesia.

Sumber Tempo.co